Sedia payung sebelum hujan. Pepatah ini sangat cocok dengan kondisi masyarakat Aceh yang hidup di daerah rentan bencana. Terlebih jika dikaitkan dengan sisi informasi. Kenapa? Karena informasi memegang peranan penting, terutama untuk mengurangi risiko bencana. Kesalahan sistem informasi juga merupakan bencana. Kehilangan informasi menyebabkan terhentinya kegiatan sehari-hari. Bisa diibaratkan: masa lalu tiba-tiba ”hilang” dan peta jalan masa depan tiba-tiba buram; pertanggungjawaban menjadi tak mungkin diberi atau diminta. Bencana tsunami Aceh tujuh tahun lalu, misalnya. Tsunami melenyapkan sebagian besar data administrasi yang signifikan dengan Pemerintah Daerah Aceh, Nias, dan beberapa daerah lain. Sejak itu daerah lainpun mulai memperhitungkan risiko kehilangan data yang dapat melumpuhkan kegiatan operasional Pemda. Tsunami Aceh tak hanya merenggut data, tapi juga surat tanah. Bahkan batas tanah (patok) penduduk sebagian besar lenyap disapu gelombang raksasa itu.
Dari pengalaman tersebut, kehadiran database memiliki peran sangat penting dalam mengembalikan sistem pemerintahan yang ada. Enam bulan pertama pascatsunami, Pemerintah seperti tersandera pada emergency respons —tanggap darurat. Pemerintah kesulitan mencari data dan informasi yang bisa memberikan petunjuk mengambil keputusan. Misalnya, siapa melakukan apa, di mana dan kapan, jumlah penduduk sebelum bencana, jumlah perempuan dan laki-laki dengan breakdown (penggolongan) umur untuk melihat kebutuhan lansia, anak-anak, serta data-data demografi pendukung lainnya. Jika ditelusuri ke belakang, yang menjadi pemahaman dan pembelajaran bagi kita dalam konteks kekinian, bisa dikatakan agenda membangun kesiapsiagaan memang harus memasukkan revitalisasi (upaya memvitalkan kembali) database termasuk format-format data yang dibutuhkan dalam suasana darurat.
Pengelolaan database kependudukan dalam situasi darurat tak menunjukkan penerapan siaga bencana. Dalam situasi normal (prabencana) saja, jika tak dikelola secara profesional, database penduduk sejahtera dan tak sejahtera akan amburadul. Dengan kata lain, data miskin yang ternyata kedaluwarsa bisa menimbulkan kontroversi dan memicu perdebatan panjang antarwarga. Bagaimana jika itu terjadi di daerah sedang menghadapi bencana alam? Oleh karena itu, persoalan database menjadi suatu hal yang sangat penting. Sebab persoalan membangun dan menolong dengan menggunakan acuan database adalah salah satu “senjata” penting dalam menghadapi masa-masa darurat akibat bencana.*
“Pengelolaan database kependudukan dalam situasi darurat tak menunjukkan penerapan siaga bencana. Dalam situasi normal (prabencana) saja, jika tak dikelola secara profesional, database penduduk sejahtera dan tak sejahtera akan amburadul.”
.............................................................................................
Kenapa Harus Ada Data?
Hampir sebagian besar wilayah Indonesia rentan bencana. Karenanya, database memiliki peran sangat urgen dalam mendukung rehabilitasi daerah terkena bencana. Seperti Data dan Informasi Bencana Aceh (DIBA), misalnya. Dari data yang memiliki alamat http://diba.acehprov.go.id itu dapat diketahui intensitas bencana, sebaran, dan potensi bencana di suatu daerah, tren bencana, jumlah korban, dan tingkat kerawanan. Sumber informasi semacam ini dapat dijadikan referensi untuk merencanakan pencegahan, kesiapsiagaan, dan usaha mitigasi yang lebih baik.
Pada masa tanggap darurat, bantuan difokuskan pada korban, baik meninggal maupun luka-luka. Namun pada masa-masa demikian, sering kali terjadi masalah kesimpangsiuran data: berapa korban meninggal, luka-luka, jumlah pengungsi, laki-laki, perempuan, anak-anak, lansia, dan lain-lain. Identifikasi korban ini diperlukan pada saat pendistribusian bantuan agar efisien dan tepat sasaran. Setelah masa tanggap darurat berakhir, bantuan diarahkan pada perbaikan infrastruktur dan pemukiman yang rusak. Pada masa ini, diperlukan data yang jelas dalam pengategorian kerusakan: mana bangunan yang hanya rusak ringan, rusak sedang, dan rusak berat. Sebab hal ini berpengaruh pada alokasi bantuan yang diberikan, bangunan yang hanya cukup direhabilitasi dan direkonstruksi.
Di sisi lain, data-data seperti data kejadian dan sebaran daerah terkena bencana dapat diolah menjadi informasi intensitas dan potensi bencana. Dari data tersebut dapat ditentukan tingkat kerawanan suatu daerah, yang pada akhirnya mendukung data-data yang diperlukan untuk merancang sebuah sistem peringatan dini. Maka dibutuhkan kebijakan ideal, yaitu kebijakan yang dari sisi teknis didukung argumentasi science yang mendetail dan berimbang serta social science. Mitigasi bencana bergantung pada science khususnya ketika harus menganalisis esensi ancaman-ancaman alam seperti gempa, tsunami, vulkanik, dan lainnya. Salah satunya adalah dengan mementingkan database prabencana sebagai bagian besar dari agenda pengurangan risiko bencana. Artinya, bersama-sama menyiapkan payung sebelum hujan.*
“Salah satunya adalah dengan mementingkan database prabencana sebagai bagian besar dari agenda pengurangan risiko bencana. Artinya, bersama-sama menyiapkan payung sebelum hujan.”
....................................................
Belajar dari Bencana di 2011
Dalam kategori bencana yang masih potensial di tahun 2011, terselubung ubahan maya yang tersulut oleh perilaku manusia, baik disengaja maupun tidak, karena ketidakpahaman terhadap lingkungan. Kadang, kaidah-kaidah etika lingkungan sering “diperdaya” tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga oleh kita sendiri sebagai anggota masyarakat. Serangkaian bencana alam terjadi di Aceh sepanjang 2011.
Berdasarkan data-data yang dikumpulkan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah dari Badan Penanggulamgan Bencana Aceh (BPBA), Harian Serambi Indonesia, dan DIBA (Data dan Informasi Bencana Aceh), setidaknya terjadi 91 kali bencana alam sepanjang Januari sampai Desember 2011. Jumlahnya memang relatif menurun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun 2010 misalnya, terjadi 92 bencana, dan 110 kejadian bencana pada 2009. Semua pendataan bencana itu telah diverifikasi dan memenuhi kriteria bencana, yaitu adanya korban jiwa dan/atau kerusakan akibat bencana tersebut.
Jika ditinjau dari jenisnya, bencana hidrologis seperti banjir, tanah longsor, erosi, gelombang pasang, dan abrasi, serta bencana meteorologis lainnya (angin kencang/badai) merupakan bencana yang dominan terjadi sepanjang tahun tersebut. Setidaknya tercatat 48 kali bencana hidrologis (52,72%) serta 37 bencana meteorologis (40,66%). Sedangkan bencana klimatologis dan geologis cenderung kecil, yaitu masing-masing 5 kejadian (5,49%) dan 1 kejadian (1,1%).
Namun demikian, dampak dari bencana geologis jauh lebih tinggi dibandingkan bencana lainnya, baik dari segi korban jiwa maupun kerusakan fisik bangunan dan infrastruktur. Data-data tersebut juga menunjukkan bahwa angin kencang dan puting beliung merupakan bencana paling sering terjadi, yaitu 37 kejadian (40,66%) dari total 91 kejadian. Urutan selanjutnya adalah banjir dengan 25 kejadian (27,47 %), erosi 8 kejadian (8,79 %), tanah longsor 7 kejadian (7,69 %), kebakaran hutan dan abrasi masing-masing 5 kejadian (5,5 %), gelombang pasang 3 kejadian (3,3 %), dan gempa hanya 1 kejadian (1,1 %).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, bencana-bencana tersebut tak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga kerusakan fisik yang menyebabkan kerugian materi tidak sedikit. Menurut catatan, terdapat total 18 orang meninggal, 14 orang luka-luka, dan 2 orang lainnya hilang akibat bencana-bencana tersebut. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan korban jiwa pada tahun-tahun sebelumnya, di mana pada 2010 terdapat 11 orang meninggal dan 39 lainnya luka-luka serta pada tahun 2009 terdapat 5 orang meninggal serta 21 lainnya luka-luka. Selain korban jiwa, jumlah kerusakan fisik bangunan dan infrastruktur pada tahun ini juga meningkat yaitu sejumlah 4.560 unit. Jumlah ini lebih tinggi 41,18% dibanding tahun 2010, yaitu sebanyak 3.230 unit, serta 200% lebih tinggi dari tahun 2009 yaitu sebanyak 1.320 unit. Tahun 2011 juga kembali membuktikan, bahwa banyak bencana tak selalu berakibat pada besarnya dampak ditimbulkan.
Sama halnya dengan tahun 2010, walaupun jumlah total kejadian bencana lebih sedikit dari tahun sebelumnya, namun dampak yang ditimbulkan justru lebih tinggi, baik dari segi korban jiwa maupun kerusakan fisik bangunan dan infrastruktur. Ada dua bencana skala besar yang bertanggungjawab terhadap banyaknya korban jiwa dan kerusakan fisik bangunan dan infrastruktur, yaitu banjir bandang pada Maret di Tangse, Pidie, serta gempa pada September yang mengguncang Subulussalam, Aceh Singkil, dan Aceh Selatan. Untuk intensitas kejadian bencana tertinggi, Aceh Utara menempati urutan pertama dengan jumlah 11 bencana, disusul Aceh Selatan dengan 9 bencana, Pidie dan Aceh Singkil masing-masing 8 bencana, serta Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya dan Bireuen dengan masing-masing mengalami 6 bencana (Gambar 3).
Walaupun intensitas kejadian bencana tertinggi berada di Aceh Utara, akan tetapi jumlah kerugian akibat kerusakan fisik bangunan dan infrastruktur yang timbul justru dialami Subulussalam. Kerugian ini merupakan akibat dari gempa berkekuatan 6,7 SR yang mengguncang kabupaten tersebut dan daerah sekitarnya pada 6 September 2011. Gempa itu menyebabkan kerusakan bangunan sebesar 84,55% dari jumlah total kerusakan bangunan tahun 2011. Total kerusakan di Subulussalam sendiri 2.934 bangunan, atau 64,34% dari keseluruhan kerusakan bangunan tahun 2011. Disusul kemudian Aceh Singkil dengan total kerusakan sebanyak 583 unit akibat gempa yang sama, serta Pidie sebanyak 450 unit akibat terjangan banjir bandang.
Dari sisi korban jiwa, 61% dari total korban meninggal akibat bencana tahun 2011 disebabkan banjir bandang di Pidie. Banjir itu membuat Pidie sebagai daerah dengan jumlah korban jiwa tertinggi, yaitu 12 orang meninggal, 1 hilang, dan 65.490 jiwa mengungsi. Untuk tahun 2011, tak ada laporan korban jiwa akibat bencana di Sabang, Aceh Besar, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Simeulue dan Langsa. Demikian pula laporan kerusakan bangunan di Nagan Raya. Sedangkan di Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Pidie Jaya tidak ada laporan korban jiwa maupun kerusakan sepanjang tahun lalu. Dari alur logika “bencana” melalui data dan tinjauan akhir tahun 2011, secara tematik tergolong runut ke semua jenis bencana yang ada di Aceh. Diawali dengan gemuruhnya bencana alam riil dan upaya penanggulangannya serta penyelamatan masyarakat penderita.
Namun, kita tak boleh lengah dan lupa dengan bencana potensial yang masih tersimpan di belakang kabut ketidak-acuhan kita pada kehidupan konstitusional, hukum, dan ekonomi masyarakat. Tentu saja, hal itu akan berpotensi menjadi jeram-jeram bencana jika kita lengah. Di samping itu, bisa menyeret kita ke masa-masa sulit jika tidak diwaspadai sedini mungkin. Sederhananya, berbicara masalah bencana yang melanda sisi kemanusiaan di bumi, hanya sekejap netra dibandingkan dengan umur bumi semenjak kelahirannya 4,5 miliar tahun lalu. Namun, selalu dirundung perubahan besar, kecil, sedang, transformatif, sekaligus penunjang perbaikan kehidupan manusia. Ada bencana yang menetaskan sumber alami yang dapat menjadi kenikmatan bagi sebagian manusia. Tetapi proses penyaringannya dan pengubahannya berlangsung dalam sumbu waktu jutaan dan miliaran tahun. Manusia hanya hidup sesaat. Tentu saja harus berusaha belajar keras melihat gejala sesat yang mengancamnya. Mari kita belajar, meski melalui tinjauan bencana tahunan. Atau sampai kapan kita akan abai?
Doa dan tawakkal harus ada di setiap waktu, bersedia dengan ujian yang mendatang moga-moga ada hikmahnya, insyaallah kita akan dirahmati selalu. sama-samalah kita berdoa moga bencana seperti yang lalu tidak berlaku lagi dan kita doakan moga sahabat kita yang berada diaceh dan juga seluruh negara dijaga dari segala bencana dan keburukan.
amin ya rabbal alamin...