Friday, June 29, 2012

GAMBARAN UMUM SEJARAH ACEH




Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun di dunia Internasional pada masa yang lalu, saat ini, atau mungkin masa yang akan datang. Perkembangan sejarah dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi perhatian para ahli sejarah, karena suku Aceh memiliki keunikan tersendiri, terutama banyaknya integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya terjadilah suatu etnik Aceh. Aceh dalam sejarahnya yang panjang juga memiliki dinamika, pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri yang berada di ujung pulau Sumatera, menurut komentar-komentar pengkaji, Aceh memiliki masyarakat yang unik, misalnya disebutkan berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan sebagainya.


Namun dalam sisi lain, masyarakat atau orang Aceh cenderung familier, mudah dalam bergaul dengan siapa saja. Kalau pada era kesultanan, Aceh begitu terkenal pada bangsa-bangsa di Timur dan Barat, hal itu tidak terlepas sifatnya yang ramah, amat menghormati tamu dan ditambah sumber daya alam yang melimpah hingga sekarang ini, maka Aceh dikenal secara mendunia. Ditambah lagi prahara kehidupan masyarakat Aceh akibat konflik berkepanjangan serta gempa dan tsunami yang pernah melanda bumi Aceh.


(Aceh pasca tsunami 26 December 2004)

Sejarah  Suku Bangsa Aceh
Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong kedalam etnik Melayu. Di samping itu etnik Aceh juga diidentikkan dengan Arab, Cina, Eropa dan Hindustan (India). Aceh sejak dahulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing terutama dari India, Timur Tengah dan Cina. Realitas tersebut karena letaknya yang strategis dengan jalur pelayaran Internasional serta berdekatan dengan lautan Indian dan Selat Malaka.

Keberadaan suku bangsa Aceh di ujung pulau sumatera menjadi perhatian para saudagar yang menggunakan laut sebagai jalan transportasi di Selat Malaka.[1]Kehadiran para saudagar tersebut dari hari ke hari di Aceh semakin bertambah, sehingga pada waktu tertentu mereka menetap di Aceh.

Kehadiran mereka terjadi dari dua gelombang, yaitu gelombang pertama suku melayu lama adalah mereka yang hidup di daerah pesisir Aceh. Gelombang kedua suku melayu baru. Kedatangan suku melayu baru membuat para suku melayu lama lebih senang menetap di pedalaman karena mereka enggan menerima pembaruan sehingga mereka menetap di daerah dataran tinggi. Sehubungan dengan suku bangsa Aceh ini Zainuddin mengatakan:

“Bangsa Aceh termasuk ke dalam rumpun bangsa melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut ethnologie, ada hubungan dengan bangsa Phonesia dan Baylonia dan Bangsa Dravida di lembah sungai  Indus dan Gangga.[2]
Asal Usul Sebutan Aceh
Hampir semua sejarawan kawasan Asia Tenggara memberi pendapat bahwa sulit mendapatkan sumber yang akurat mengenai asal nama Aceh. Di dalam sejarah kedah, Marong Mahawangsa, (+ th. 1220 M = 517 H) Aceh sudah tersebut sebagai suatu negeri di pesisir pulau perca (Sumatera).[3]

Menurut Zainuddin, sesudah 400M, Sumatera Utara dinamai orang Portugis dan Italia dengan nama Achem, Achen, Acen dan orang Arab menjebutkan lagi Asji, atau  juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis Frantjis mengatakan Achem, Achen, Achin, Acheh, orang Inggeris menjebut: Atcheen, Acheen, Achin, achirnya. Orang Belanda menjebutkan Atjeh. Orang Atjeh sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut dalam tarich Melaju.[4]

Cerita asal nama Aceh banyak ragamnya, diantaranya yaitu cerita pusaka (mythe) anak negeri tentang nama Aceh adalah  sebagai berikut: sebuah kapal dari Gudjarat di India kabarnya tiba di sungai Tjidaih (baca: Tjeudaih= cantik). Anak-anak kapal yang naik ke darat menuju kampong pandee, tiba-tiba kehujanan lalu mereka berteduh di bawah pohon yang rindang dan berseru-seru memuji daun-daun kaju itu “Atja, Atja, Atja”. Kemudian di Pidie kapal itu berjumpa dengan sebuah perahu di sungai Tjidaih. Mereka bertanya: apakah perahu itu ada mengunjungi kampong pandee? Hal mana diiakan dan anak-anak kapal itu berseru: Atja, Atja, Atja, yang kemudian berubah menjadi Atjeh [5]
Sejarah Masuknya Islam di Aceh
Dalam pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa dipisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya, dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan negara-negara di semenanjung Melayu umumnya. Atas dasar ini maka julukan serambi Makkah yang disandangnya tidaklah berlebihan. Untuk itu pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia, maka Aceh menempati posisi perdana dan strategis.


(Masjid Raya Baturrahman)

Masuknya Islam di Aceh mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam di Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara bermula di Aceh, yaitu abad pertama dan kedua Hijriah atau abad 7 M. [6]

Islam datang pertama kali di Indonesia melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh saudagar-saudagar Arab. Ketika awal-awal kedatangannya itu, Islam hanya sebagai kegiatan dakwah dan belum muncul sebuah kekuatan politik. Lama kemudian baru muncul sebagai sebuah kekuatan politik, yakni dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam di sekitar wilayah Aceh.[7]

Sebelum nama “Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di ujung Sumatera, yaitu:

1)      Kerajaan Perlak
2)      Kerajaan Samudera Pasai
3)      Kerajaan Teumiang
4)      Kerajaan Pidie
5)      Kerajaan Indera Purba
6)      Kerajaan Indera Jaya

Dalam perkembangan selanjutnya, keenam kerajaan di atas disatukan menjadi  daerah Aceh oleh sultan Husain Syah yang memerintah  Aceh Darussalam pada 870-885 H/1465-1480 M. pada masa inilah Aceh menjadi satu agama, satu bangsa, dan satu negara. Hingga dengan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman gemilangnya.[8] Penyatuan dan pembentukan kerajaan Aceh Darussalam ini digerakkan oleh Sultan Ali Mughaiyat Syah yang terkenal sebagai pemersatu Aceh yang sangat gagah dan berani.
Hukum  yang Digunakan di Aceh
Aceh Darussalam yang juga dikenal dengan Bumi Iskandar Muda, Tanah Rencong, Daerah Modal, Bumi Gajah Putih ini mengambil Islam sebagai dasar negara[9]. Sedangkan sumber hukumnya dengan jelas dan tegas berkiblat kepada al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.[10]

Manakala dalam melaksanakan hukum, Kanun al-Asyi menjelaskan bahwa “Ulama dengan rais tidak boleh jauh dan bercerai. Sebab, jikalau bercerai dengan rais niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat maka bersalah dengan dunianya. Dan barang siapa mengerjakan adat dan meninggalkan hukum Allah, maka berdosalah dengan Allah.” [11] Hal ini sesuai dengan sebuah hadih maja atau pepatah Aceh yang berbunyi:

Adat Bak Po Teumereuhôm
Hukôm Bak Syiah Kuala
Kanun Bak Putroe Phang
Reusam Bak Lakseumana 
Sistem Pemerintahan Aceh
Perbandingan antara system pemerintahan Aceh zaman dahulu dengan sekarang, secara sistematis ada dua system yang tercatat dalam beberapa dokumen, yaitu sistem pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) dan sistem pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Maka jika dilihat dari struktur dan susunan sistem kepengurusan dan kepemerintahan di Aceh, sistem kepengurusan kerajaan Aceh terdiri dari beberapa tingkat, yaitu[12]:

1.      Tingkat pusat
Kepengurusan kerajaan Aceh pada tingkat pusat diketuai oleh seorang sultan. Sultan memiliki kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh memteri-menteri dan ketua-ketua jabatan yang bertanggung jawab langsung kepada sultan.

2.      Tingkat Nanggroe
Tingkat ini terdiri dari beberapa buah mukim yang disatukan dan dinamakan nanggroe. Sistem kepengurusan di tingkat ini adalah:

·         Uleebalang, bertugas sebagai pengurus negeri dan juga sebagai panglima tentara yang menjalankan titah Sultan yang berkenaan dengan adat dan agama yakni hukum Islam. Cara pelantikan Uleebalang adalah secara turun-temurun dengan mendapat surat pelantikan dari Sultan. Dan keturunan bangsawan ini digelari Teuku atau Ampon.
·         Imeum
·         Keuchik

3.      Tingkat Mukim
Mukim adalah gabungan dari beberapa buah gampoeng yang ditandai oleh sebuah mesjid. Oarang-orang dari beberapa gampoeng yang tergabung dalam lingkungan mesjid ini berada di bawah kekuasaan seorang penguasa agama yang disebut imam. Karena pengaruhnya sangat kuat di kalangan masyarakat, maka peranan imam  berubah menjadi pemimpin atau ketua mukim.

4.      Tingkat gampoeng
Sistem pemerintahan tingkat ini adalah sistem pemerintahan yang terletak di tingkat paling kecil dan bawah sekali. Kadang-kadang ia terbentuk dari seuneubok[13]. Sistem pemerintahan gampong adalah:

·         Keuchik, yaitu orang yang mengetuai pemerintahan gampong.
·         Waki keuchik, wakil kepala kampong yang dinamakan waki.
·         Teungku menasah, mengurusi urusan agama seperti: nikah, talak, fasakh, rujuk, kematian dengan pengetahuan keuchik.
·         Ureueng tuha, yang bertugas bersama-sama imeum menasah membantu keuchik

5.      Tingkat Daerah-daerah Tanah Bebas
Daerah ini diurus oleh sultan. Daerah tanah bebas dianggap istimewa karena terletak dekat dengan benteng atau istana. Daerah ini dipanggil juga sebagai bibeueh. Gampong-gampong yang berstatus daerah bibeueh adalah:

·         gampong kandang, tempat tinggal hamba raja
·         gampong meureuduwati, tempat tinggal pegawai raja
·         gampong jawa dan gampong keudah, tempat tinggal saudagar-saudagar asing
·         gampong pante pirak dan gampong neusu, tempat tinggal tentara sultan atau militer

Sistem Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam
Sistem pemerintahan zaman Kerajaan Aceh Darussalam Nampak jauh berbeda dengan sistem pemerintahan pada masa Nanggroe Aceh Darussalam. Kerajaan  Aceh Darussalam (KAD) merupakan sebuah Negara merdeka, bebas dan berdaulat, sementara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) merupakan sebuah provinsi dan bagian terkecil dari Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah provinsi, NAD tidak bebas mengatur dan mengurus dirinya karena terhalang oleh peraturan Indonesia, namun hanya diberi wewenang untuk mengatur diri dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan keuangan, perundang-undangan, keamanan, dan hubungan luar negeri dan politik.

Hal ini sebagaimana disahkannya Undang-undang Republik Indonesia (RI) No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan  Daerah Istimewa Aceh dan UU Republik Indonesia (RI) No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai NAD.[14]

Sebagai sebuah  provinsi dalam Negara Indonesia, NAD hanya mempunyai pemerintahan Gampong sebagai tingkat pemerintahan terendah, pemerintahan mukim sebagai tingkat kedua di atas Gampong, pemerintahan Sagoe Cut (Kecamatan) sebagai level ketiga  di atas Gampong , pemerintahan sagoe/ Banda (kabupaten/Kota) sebagai tingkat keempat dan pemerintah Nanggroe (Provinsi) sebagai tingkat tertinggi. Semua itu berada di bawah kekuasaan NKRI dan diurus dengan undang-undang Indonesia.






[1] A. Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan obor, 2003), hal.6
[2] Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan :Pustaka Iskandar Muda,1961), hal. 15.
[3] M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, (Banda aceh: Yayasan PeNA, 2008), hal. 
[4] Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan :Pustaka Iskandar Muda,1961), hal. 23.
[5] A. Rani Usman, Sejarah Perdaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 20
[6] Nasruddin Baidan, Perkembangan afsir al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), hal. 32
[7] M. Solihin, Melacak pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 20
[8] A. Hasyimi, Sejarah Islam Masuk dan Berkembangnya di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hal. 200
[9] Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh, (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2003), hal. 85
[10] A.Hasyimi, Peranan Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 14.
[11] Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 78.
[12] Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 61
[13] Seunuebok yaitu daerah tanah baru yang didirikan oleh orang yang terpaksa keluar dari gampong karena terlalu penuh atau disebabkan alas an-alasan lain.
[14] Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal.85

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...