Aceh merupakan
wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia maupun di dunia
Internasional pada masa yang lalu, saat ini, atau mungkin masa yang akan
datang. Perkembangan sejarah dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi
perhatian para ahli sejarah, karena suku Aceh memiliki keunikan tersendiri,
terutama banyaknya integrasi etnik atau campuran etnik yang akhirnya terjadilah
suatu etnik Aceh. Aceh dalam sejarahnya yang panjang juga memiliki dinamika,
pasang surut dan dikagumi oleh kawan dan lawan. Negeri yang berada di ujung
pulau Sumatera, menurut komentar-komentar pengkaji, Aceh memiliki masyarakat
yang unik, misalnya disebutkan berani, ulet, tanpa mengenal menyerah dan
sebagainya.
Namun dalam
sisi lain, masyarakat atau orang Aceh cenderung familier, mudah dalam bergaul
dengan siapa saja. Kalau pada era kesultanan, Aceh begitu terkenal pada
bangsa-bangsa di Timur dan Barat, hal itu tidak terlepas sifatnya yang ramah, amat
menghormati tamu dan ditambah sumber daya alam yang melimpah hingga sekarang
ini, maka Aceh dikenal secara mendunia. Ditambah lagi prahara kehidupan
masyarakat Aceh akibat konflik berkepanjangan serta gempa dan tsunami yang pernah
melanda bumi Aceh.
(Aceh pasca tsunami 26 December 2004)
Sejarah
Suku Bangsa Aceh
Suku bangsa Aceh
merupakan salah satu suku yang tergolong kedalam etnik Melayu. Di samping itu
etnik Aceh juga diidentikkan dengan Arab, Cina, Eropa dan Hindustan (India).
Aceh sejak dahulu telah mempunyai kontak dagang dengan bangsa asing terutama
dari India, Timur Tengah dan Cina. Realitas tersebut karena letaknya yang
strategis dengan jalur pelayaran Internasional serta berdekatan dengan lautan
Indian dan Selat Malaka.
Keberadaan suku
bangsa Aceh di ujung pulau sumatera menjadi perhatian para saudagar yang
menggunakan laut sebagai jalan transportasi di Selat Malaka.[1]Kehadiran
para saudagar tersebut dari hari ke hari di Aceh semakin bertambah, sehingga
pada waktu tertentu mereka menetap di Aceh.
Kehadiran
mereka terjadi dari dua gelombang, yaitu gelombang pertama suku melayu lama adalah
mereka yang hidup di daerah pesisir Aceh. Gelombang kedua suku melayu baru.
Kedatangan suku melayu baru membuat para suku melayu lama lebih senang menetap
di pedalaman karena mereka enggan menerima pembaruan sehingga mereka menetap di
daerah dataran tinggi. Sehubungan dengan suku bangsa Aceh ini Zainuddin
mengatakan:
“Bangsa Aceh
termasuk ke dalam rumpun bangsa melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante),
Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari
negeri Perak dan Pahang menurut ethnologie, ada hubungan dengan bangsa Phonesia
dan Baylonia dan Bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.[2]
Asal Usul Sebutan Aceh
Hampir semua
sejarawan kawasan Asia Tenggara memberi pendapat bahwa sulit mendapatkan sumber
yang akurat mengenai asal nama Aceh. Di dalam sejarah kedah, Marong Mahawangsa, (+
th. 1220 M = 517 H) Aceh sudah tersebut sebagai suatu negeri di pesisir pulau
perca (Sumatera).[3]
Menurut
Zainuddin, sesudah 400M, Sumatera Utara dinamai orang Portugis dan Italia
dengan nama Achem, Achen, Acen dan orang Arab menjebutkan lagi Asji, atau juga Dachem, Dagin, Dacin. Penulis-penulis
Frantjis mengatakan Achem, Achen, Achin, Acheh, orang Inggeris menjebut:
Atcheen, Acheen, Achin, achirnya. Orang Belanda menjebutkan Atjeh. Orang Atjeh
sendiri mengatakan “Atjeh”, begitu pula nama daerah ini tersebut dalam tarich
Melaju.[4]
Cerita asal
nama Aceh banyak ragamnya, diantaranya yaitu cerita pusaka (mythe) anak negeri tentang nama
Aceh adalah sebagai berikut: sebuah
kapal dari Gudjarat di India kabarnya tiba di sungai Tjidaih (baca: Tjeudaih=
cantik). Anak-anak kapal yang naik ke darat menuju kampong pandee, tiba-tiba
kehujanan lalu mereka berteduh di bawah pohon yang rindang dan berseru-seru
memuji daun-daun kaju itu “Atja, Atja, Atja”. Kemudian di Pidie kapal itu
berjumpa dengan sebuah perahu di sungai Tjidaih. Mereka bertanya: apakah perahu
itu ada mengunjungi kampong pandee? Hal mana diiakan dan anak-anak kapal itu
berseru: Atja, Atja, Atja, yang kemudian berubah menjadi Atjeh [5]
Sejarah Masuknya Islam di Aceh
Dalam
pembicaraan tentang sejarah Islam di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang
sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa dipisahkan dalam
setting sejarah Islam di Indonesia khususnya, dan dengan Malaysia, Thailand,
Brunei, dan negara-negara di semenanjung Melayu umumnya. Atas dasar ini maka julukan serambi
Makkah yang disandangnya tidaklah berlebihan. Untuk itu pembicaraan tentang
sejarah Islam di Indonesia, maka Aceh menempati posisi perdana dan strategis.
(Masjid Raya Baturrahman)
Masuknya Islam
di Aceh mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi penyebaran Islam di
Nusantara. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Islam pertama kali masuk ke
Nusantara bermula di Aceh, yaitu abad pertama dan kedua Hijriah atau abad 7 M. [6]
Islam datang
pertama kali di Indonesia melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh
saudagar-saudagar Arab. Ketika awal-awal kedatangannya itu, Islam hanya sebagai
kegiatan dakwah dan belum muncul sebuah kekuatan politik. Lama kemudian baru
muncul sebagai sebuah kekuatan politik, yakni dengan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam di sekitar wilayah Aceh.[7]
Sebelum nama
“Aceh” lahir sebagai sebuah kerajaan Islam, terdapat 6 daerah terpenting di
ujung Sumatera, yaitu:
1)
Kerajaan Perlak
2)
Kerajaan
Samudera Pasai
3)
Kerajaan Teumiang
4)
Kerajaan Pidie
5)
Kerajaan Indera
Purba
6)
Kerajaan Indera
Jaya
Dalam
perkembangan selanjutnya, keenam kerajaan di atas disatukan menjadi daerah Aceh oleh sultan Husain Syah yang
memerintah Aceh Darussalam pada 870-885
H/1465-1480 M. pada masa inilah Aceh menjadi satu agama, satu bangsa, dan satu
negara. Hingga dengan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga
mencapai zaman gemilangnya.[8]
Penyatuan dan pembentukan kerajaan Aceh Darussalam ini digerakkan oleh Sultan
Ali Mughaiyat Syah yang terkenal sebagai pemersatu Aceh yang sangat gagah dan
berani.
Hukum yang Digunakan di Aceh
Aceh Darussalam
yang juga dikenal dengan Bumi Iskandar Muda, Tanah Rencong, Daerah Modal, Bumi
Gajah Putih ini mengambil Islam sebagai dasar negara[9].
Sedangkan sumber hukumnya dengan jelas dan tegas berkiblat kepada al-Qur’an,
Hadis, Ijma’, dan Qiyas.[10]
Manakala dalam
melaksanakan hukum, Kanun al-Asyi menjelaskan bahwa “Ulama dengan rais tidak
boleh jauh dan bercerai. Sebab, jikalau bercerai dengan rais niscaya binasalah
negeri. Barang siapa mengerjakan hukum Allah dan meninggalkan adat maka
bersalah dengan dunianya. Dan barang siapa mengerjakan adat dan meninggalkan
hukum Allah, maka berdosalah dengan Allah.” [11] Hal
ini sesuai dengan sebuah hadih maja atau pepatah Aceh yang berbunyi:
Adat Bak Po Teumereuhôm
Hukôm Bak Syiah Kuala
Kanun Bak Putroe Phang
Reusam Bak Lakseumana
Sistem Pemerintahan Aceh
Perbandingan
antara system pemerintahan Aceh zaman dahulu dengan sekarang, secara sistematis
ada dua system yang tercatat dalam beberapa dokumen, yaitu sistem pemerintahan Kerajaan
Aceh Darussalam (KAD) dan sistem pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Maka
jika dilihat dari struktur dan susunan sistem kepengurusan dan kepemerintahan
di Aceh, sistem kepengurusan kerajaan Aceh terdiri dari beberapa tingkat, yaitu[12]:
1.
Tingkat pusat
Kepengurusan
kerajaan Aceh pada tingkat pusat diketuai oleh seorang sultan. Sultan memiliki
kekuasaan tertinggi yang dibantu oleh memteri-menteri dan ketua-ketua jabatan
yang bertanggung jawab langsung kepada sultan.
2.
Tingkat Nanggroe
Tingkat
ini terdiri dari beberapa buah mukim yang disatukan dan dinamakan nanggroe.
Sistem kepengurusan di tingkat ini adalah:
·
Uleebalang,
bertugas sebagai pengurus negeri dan juga sebagai panglima tentara yang
menjalankan titah Sultan yang berkenaan dengan adat dan agama yakni hukum
Islam. Cara pelantikan Uleebalang adalah secara turun-temurun dengan mendapat
surat pelantikan dari Sultan. Dan keturunan bangsawan ini digelari Teuku atau
Ampon.
·
Imeum
·
Keuchik
3.
Tingkat Mukim
Mukim
adalah gabungan dari beberapa buah gampoeng yang ditandai
oleh sebuah mesjid. Oarang-orang dari beberapa gampoeng yang tergabung
dalam lingkungan mesjid ini berada di bawah kekuasaan seorang penguasa agama
yang disebut imam. Karena pengaruhnya sangat kuat di kalangan
masyarakat, maka peranan imam berubah
menjadi pemimpin atau ketua mukim.
4.
Tingkat
gampoeng
Sistem
pemerintahan tingkat ini adalah sistem pemerintahan yang terletak di tingkat
paling kecil dan bawah sekali. Kadang-kadang ia terbentuk dari seuneubok[13]. Sistem
pemerintahan gampong adalah:
·
Keuchik, yaitu
orang yang mengetuai pemerintahan gampong.
·
Waki keuchik,
wakil kepala kampong yang dinamakan waki.
·
Teungku
menasah, mengurusi urusan agama seperti: nikah, talak, fasakh, rujuk, kematian
dengan pengetahuan keuchik.
·
Ureueng tuha,
yang bertugas bersama-sama imeum menasah membantu keuchik
5.
Tingkat
Daerah-daerah Tanah Bebas
Daerah
ini diurus oleh sultan. Daerah tanah bebas dianggap istimewa karena terletak
dekat dengan benteng atau istana. Daerah ini dipanggil juga sebagai bibeueh. Gampong-gampong
yang berstatus daerah bibeueh adalah:
·
gampong
kandang, tempat tinggal hamba raja
·
gampong
meureuduwati, tempat tinggal pegawai raja
·
gampong jawa
dan gampong keudah, tempat tinggal saudagar-saudagar asing
·
gampong pante
pirak dan gampong neusu, tempat tinggal tentara sultan atau militer
Sistem Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam
Sistem
pemerintahan zaman Kerajaan Aceh Darussalam Nampak jauh berbeda dengan sistem
pemerintahan pada masa Nanggroe Aceh Darussalam. Kerajaan Aceh Darussalam (KAD) merupakan sebuah Negara
merdeka, bebas dan berdaulat, sementara Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
merupakan sebuah provinsi dan bagian terkecil dari Negara Republik Indonesia.
Sebagai sebuah provinsi, NAD tidak bebas mengatur dan mengurus dirinya karena
terhalang oleh peraturan Indonesia, namun hanya diberi wewenang untuk mengatur
diri dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan keuangan, perundang-undangan,
keamanan, dan hubungan luar negeri dan politik.
Hal ini
sebagaimana disahkannya Undang-undang Republik Indonesia (RI) No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Daerah Istimewa Aceh dan UU Republik Indonesia (RI) No.18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi daerah Istimewa Aceh sebagai NAD.[14]
Sebagai
sebuah provinsi dalam Negara Indonesia,
NAD hanya mempunyai pemerintahan Gampong sebagai tingkat pemerintahan terendah,
pemerintahan mukim sebagai tingkat kedua di atas Gampong, pemerintahan Sagoe
Cut (Kecamatan) sebagai level ketiga di
atas Gampong , pemerintahan sagoe/ Banda (kabupaten/Kota) sebagai tingkat keempat
dan pemerintah Nanggroe (Provinsi) sebagai tingkat tertinggi. Semua itu berada
di bawah kekuasaan NKRI
dan diurus dengan undang-undang Indonesia.
[1] A.
Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta: Yayasan obor, 2003), hal.6
[2] Zainuddin,
Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan :Pustaka Iskandar Muda,1961), hal.
15.
[3] M. Hasbi
Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, (Banda aceh: Yayasan PeNA, 2008),
hal.
[5] A.
Rani Usman, Sejarah Perdaban Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003), hal. 20
[10]
A.Hasyimi, Peranan
Islam dalam Perang Aceh dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976), hal. 14.
[11] Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 78.
[11] Hasanuddin Yusuf Adan, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 78.