Setelah terjadi proses penyebaran Islam (Islamisasi) lambat laun
tumbuh dan berkembang Keultanan-Kesultanan dengan dinamika sejarahnya dalam
berbagai aspek: sosial-politik, sosial ekonomi perdagangan, social keagamaan dan
kebudayaan. Dalam bidang sosial-politik biasanya terjadi pergantian kekuasaan
yang mulus tetapi kadang-kadang tidak mulus.
Tidak mulus disebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dan juga kadang-kadang karena hasutan politik dari luar dari pihak yang menginginkan penjajahan termasuk bidang monopoli perdagangan. Dalam menjalankan politik pemerintahan Kesultanan mempunyai system birokrasi yang cukup lengkap, tetapi jika mulai dimasuki system birokrasi Barat (dari Penjajah) mulai terjadi perlawanan.
Tumbuh dan berkembangnya Kesultanan-kesultanan di Indonesia tidak menunjukkan persamaan karena ada yang sejak abad ke-16, 17 dan ke-18 M. mulai memudar bahkan pada awal abad ke-19 M. mulai di bawah lindungan pemerintahan jajahan (terutama Belanda sejak VOC –Hindia Belanda) dan ada yang baru awal abad ke 20 M. contohnya Kesultanan Aceh Darussalam baru dikuasai Hindia-Belanda. Bahkan pada abad ke-19 M. dimana timbul gerakan social dan keagamaan misalnya Pemberontakan Cilegon, Perang Padri, Pemberontakan Antasari, dan di daerah-daerah lainnya. Pemberontakan atau perlawanan-perlawanan terhadap penjajah tersebut umumnya dipimpin para Kiai atau Ulama.
Di antara sejumlah Kesultanan di Indonesia yang pada abad ke-17 M. mencapai keemasan dilihat dari berbagai aspek kehidupan: politik, ekonomi-perdagangan, keagamaan dan kebudayaan: ialah Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Mataram semasa Sultan Agung Hanyakrasusumo, Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Gowa semasa Sultan Hasan Uddin. Dapat kita catat tentang kemajuan keagamaan terutama yang memberikan warisan kesasteraan agama Islam mengenai berbagai hal: Tauqid, Tasawuf dan Tarekatnya, Fikh, Musyah Al-Qur’an, dan lainnya ialah Kesultanan Aceh Darussalam, kemudian Kesultanan Banaten. Aceh terkenal dengan para ulama besarnya dan tempat berguru para kiai sebelum pergi menunaikan ibadah haji, karena itu sering digelari Aceh Serambi Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri (w. 1527 M.), Syamsuddin As-Sumaatrani (abad 17 M.), Nuruddin Ar-Raniri (abd-17 M.), Abdurrauf As-Singkili (abd 17 M.) dan lainnya. Dari Aceh mulai sastra keagamaaan Islam yang ditulis dalam huruf Jawi berbahasa Melayu dan tersebar ke berbagai daerah Indonesia: di Sumatara, di Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan. Demikian pula pengaruhnya ke Banten , Cirebon dan lainnya.
Tidak mulus disebabkan terjadinya perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dan juga kadang-kadang karena hasutan politik dari luar dari pihak yang menginginkan penjajahan termasuk bidang monopoli perdagangan. Dalam menjalankan politik pemerintahan Kesultanan mempunyai system birokrasi yang cukup lengkap, tetapi jika mulai dimasuki system birokrasi Barat (dari Penjajah) mulai terjadi perlawanan.
Tumbuh dan berkembangnya Kesultanan-kesultanan di Indonesia tidak menunjukkan persamaan karena ada yang sejak abad ke-16, 17 dan ke-18 M. mulai memudar bahkan pada awal abad ke-19 M. mulai di bawah lindungan pemerintahan jajahan (terutama Belanda sejak VOC –Hindia Belanda) dan ada yang baru awal abad ke 20 M. contohnya Kesultanan Aceh Darussalam baru dikuasai Hindia-Belanda. Bahkan pada abad ke-19 M. dimana timbul gerakan social dan keagamaan misalnya Pemberontakan Cilegon, Perang Padri, Pemberontakan Antasari, dan di daerah-daerah lainnya. Pemberontakan atau perlawanan-perlawanan terhadap penjajah tersebut umumnya dipimpin para Kiai atau Ulama.
Di antara sejumlah Kesultanan di Indonesia yang pada abad ke-17 M. mencapai keemasan dilihat dari berbagai aspek kehidupan: politik, ekonomi-perdagangan, keagamaan dan kebudayaan: ialah Kesultanan Aceh Darussalam semasa Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Mataram semasa Sultan Agung Hanyakrasusumo, Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Gowa semasa Sultan Hasan Uddin. Dapat kita catat tentang kemajuan keagamaan terutama yang memberikan warisan kesasteraan agama Islam mengenai berbagai hal: Tauqid, Tasawuf dan Tarekatnya, Fikh, Musyah Al-Qur’an, dan lainnya ialah Kesultanan Aceh Darussalam, kemudian Kesultanan Banaten. Aceh terkenal dengan para ulama besarnya dan tempat berguru para kiai sebelum pergi menunaikan ibadah haji, karena itu sering digelari Aceh Serambi Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri (w. 1527 M.), Syamsuddin As-Sumaatrani (abad 17 M.), Nuruddin Ar-Raniri (abd-17 M.), Abdurrauf As-Singkili (abd 17 M.) dan lainnya. Dari Aceh mulai sastra keagamaaan Islam yang ditulis dalam huruf Jawi berbahasa Melayu dan tersebar ke berbagai daerah Indonesia: di Sumatara, di Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan. Demikian pula pengaruhnya ke Banten , Cirebon dan lainnya.
Pada abad 17 dan 18 Masehi hubungan atau jaringan kuat antara ulama-ulama Timur Tengah dan Melayu-Indonesia. KItab-kitab Fikh yang tersebar sejak masa lampau di Indonesia telah banyak dibicarakan dan dapat kami catatan pada umumnya di Kesulatanan-kesultanan di Indonesia menerapkan Syari’ah terutama di bidang Ubudiyah, Muamalah dan Hudud, tetapi dalam bidang Jinayah tidak kecuali satu masa di Kesultanan Aceh Darussalam semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 tetapi kemudian dihapus mada masa Iskandar Thani (baca Denys Lombard: Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskanda Muda (1607-1636), KPG-EFEO 2006, hlm. 118-119) Hubungan perekonomian dan perdagangan antar Kesultanan di Indonesia dan antar Bangsa dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, Di Timur Jauh: Cina, Jepang dan lainnya dan juga dengan Timur Tengah: Arabia, Persi (Iran), Irak, Turki, Mesir dan lainnya berjalan terus sekalipun pernah dirintangi oleh politik monopoli perdagangan Portugis dan Belanda. Setelah penjajahan VOC dan kemudian Hindia Belanda praktis beberapa Kesultanan perekonomian dan perdagangannya beralih kepada penjajah kecuali Aceh baru pada awal abad ke-20 H. Hubungan-hubungan ekonomi pedagangan dengan negeri-negeri Islam diperkuat juga dengan hubungan persahabatan dalam menghadapi penjajahan. Dapat pula kita catatan bahwa meskipun penjajahan VOC-Hindia Belanda merupakan factor keruntuhan bagi Kesultanan-kesultanan di Indonesia namun perlawanan dengan cara pemberontakan seperti telah dikatakan di atas berjalan terus. Untuk merintangi atau menghalangi kegiatan-kegiatan Islam di berbagai bidang Pemerintah Hindia Belanda misalnya dalam bidang ibadah haji dikeluarkanlah Haji Ordonansi 1922 yang sebenarnya merugikan umat Islam Indonesia. Demikian pula di bidang pendidikan muncul Ordonansi Guru, 1925.
Politik penjajahan Belanda untuk merintangi berbagai upaya bagi umat Islam telah diatur pula oleh Het Kantoor voor Inlandsche Zaken , tetapi anehnya lebih mengatur kehidupan keagamaan yang dianut bangsa Indonesia yang dapat kita perhatikan dalam disertasi H. Aqib Suminto “ Politik Islam Hindia Belanda” LP3S, 1986. Mengenai keberadaan pendidikan zaman Penjajahan Belanda dengan berbagai gerakan pendidikan sebagai lawan perimbangan terhadap system pendidikan yang diciptakan Penjajahan Belanda misalnya tumbuh dan berkembangnya pendidikan-pendidikan Islami yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thahir Jalaluddin, Syaikh Muhammad Jamil Jambek dan lain-lain di daerah Minangkabau dan di antara lain yang berpengaruh ialah pendidikan Surau Jembatan Besi. Demikian juga di Jakarta waktu itu tahun 1905, Muhammadiyah di Yogyakarta, Haji Abdulkarim dengan Hayatul Qulub di Majlengka, dan gerakan-gerakan pendidikan sebagai pembaruan untuk pendidikan Islam.